Sesakit ini.


Sesakit ini. Ya, sesakit ini melihat orang yang kamu sayang tertawa karena orang lain. Bukan, bukan kamu alasan dia tertawa sebahagia itu, tapi karena orang lain. Seharusnya aku telah melewatkanmu, seharusnya aku tak berdiam di sini memperhatikanmu bersama orang lain. Benar, aku bahagia jika kamu bahagia. Namun, sebahagianya aku melihatmu seperti ini, sesakit itu pula aku.

Sesakit ini didiamkan olehmu, dianggap tak ada olehmu. Jujur saja, aku tak bisa, tapi sekali lagi ku katakan kalau aku tak mau egois, itu tak adil bagimu. Aku hanya mencoba bertahan menahan sakitnya, kamu tetap tak peduli, bukan? Bahkan, ketika kita masih bersama pun kamu tetap tak peduli. Kamu bersenang-senang dengan orang lain tanpa aku ketahui. Sakit? Sangat. Kamu peduli? Tidak sama sekali. Lalu aku harus bagaimana? Berlari meninggalkan sakitnya? Apa aku kuat? Aku akan lelah, pastinya. Berjalan di tempat? Apa aku kuat menahan sakit ini sendirian? Sudahlah, tak ada gunanya juga aku mengoceh, kamu juga tak akan mendengarku.

Aku hanya berharap kamu tak pergi dariku, Bay. Seperti ini saja rasanya sudah cukup. Kamu benar, dijalani dan dinikmati saja. Aku kangen kamu, Bay. Namun, aku menikmatinya. Aku sayang, tapi aku coba menjalaninya sendiri. Aku sakit, akan ku nikmati pula sakitnya. Begitu katamu, kan? Aku percaya bahwa kamu benar, kamu jujur, memang sudah seharusnya seperti ini.

Aku menyayangimu. Itu benar adanya. Bahkan sampai detik ini pun masih sama. Lalu, aku bisa apa? Aku hanya ingin mengikhlaskanmu dengan rasa sayang yang aku punya, selalu ingin. Agar kau tak punya beban di hati dan pundakmu itu. Jagalah pundak dan hatimu baik-baik, tetaplah jadi kuat, agar suatu hari nanti ada wanita baik dan tulus yang dapat singgah di hatimu dan bisa bersandar di bahumu dengan kenyamanannya. Jadilah pria baik supaya kamu dapat wanita yang baik pula.

Aku tetap di sini, Bay. Aku tak akan ke mana-mana.




Your partner,

Almira.

0 komentar:

Posting Komentar

 

TWITTER

CLOCK

About