Pria Pertama yang Kupeluk.



Entah dari mana aku memulainya, entah bagaimana aku menjelaskan segalanya. Aku ingin bercerita, sedikit ceritaku. Dengarkan, ya? 

Seorang pria yang pertama kali kulihat saat aku membuka mata. Pria yang pertama kali aku dengar suaranya untuk mengadzaniku. Ya, pria itu mengelus pipiku sangat lembut. Mungkin aku tak ingat, bahkan tak sadar ketika aku diadzani olehnya saat aku terlahir ke dunia. Tapi yang aku tahu begitu, menurut ibuku, tapi aku sangat percaya bahwa pria itu yang pertama kali aku lihat serta aku dengar suaranya. 

Saat aku beranjak besar, Ia mengajariku naik sepeda. Selalu terekam dalam otakku bagaimana Ia mengajariku sampai aku bisa. Bahkan aku masih ingat warna sepeda yang pertama kali diberikan oleh pria itu kepadaku. Sepeda berwarna kuning beroda empat. Ya, dulu aku masih sangat kecil untuk menaiki sepeda dengan roda dua dan aku memang belum bisa. 

Di suatu sore, pria itu mengajakku untuk bermain sepeda, aku bergegas untuk bermain. Lalu Ia mencoba melepas roda yang satunya lagi sehingga rodanya berkurang menjadi tiga roda. Jujur saja, aku buka tipe anak perempuan yang takut untuk mencoba. Aku memberanikan diri untuk mencobanya. Awalnya, pria itu memegangi sepedaku dari belakang agak aku tak terjatuh, Ia terus menuntun sepedaku dan aku hingga aku bisa mengendarainya sendiri. Setelah aku sekiranya sudah mahir untuk mengendarai sepeda itu, pria itu mencoba melepas rodanya yang satu lagi sehingga rodanya menjadi dua sekarang. Lagi lagi pria itu menuntunku hingga aku lancar mengendarai sepeda itu. 

Saat waktunya tiba, pria itu meyakinkanku bahwa aku bisa. Perlahan aku mengendarai sepeda beroda empat yang sudah Ia sulap menjadi sepeda roda dua itu. Aku terkesiap dan mulai menggowes sepeda itu dan..........AKU BISA! Aku berbalik arah, aku melihat pria itu tersenyum kepadaku, tersenyum bangga, aku tahu itu. Sesampainya aku di tempat pria itu, aku memeluknya. Ya, pria pertama yang aku peluk. Pria itu mencium hangat pipiku. Aku tahu itu kebiasaannya yang tak pernah hilang hingga aku berumur 18 tahun seperti sekarang ini. Dan aku pikir Ia juga tak mungkin menghilangkan kebiasaannya itu. Setidaknya aku harap begitu. Walaupun terkadang aku risih, tetapi itulah yang selalu membuat aku rindu.

Aku menghela napas sejenak. Tak terasa umurku sudah 18 tahun, entah bisa dibilang dewasa atau tidak. Aku sudah menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Dan tentu saja aku masih ditemani wanita tangguh dan pria yang pertama kupeluk itu. Berkat doa mereka aku menjadi seperti sekarang ini. Bersyukur sekali rasanya aku masih memiliki wanita dan pria itu di dalam hidupku.

Semakin dewasa aku semakin sering bercerita dengan pria itu, pria yang selalu menemaniku, pria yang dulu sering menggendongku di bahunya walaupun bahunya tak sekuat dulu untuk menggendongku, tapi bahunya masih selalu ada saat aku membutuhkan sandaran. Masih ada, akan selalu ada.

Meskipun aku terkadang gengsi untuk mengucapkan ini, meskipun bahumu tak sekuat dulu untuk menggendongku, meskipun kedisiplinanmu terkadang membuatku jengkel karena kau memang terlalu disiplin, tapi aku tahu itu untuk kebaikanku sekarang ataupun nanti.

Terima kasih untuk telinga yang selalu siap sedia mendengar keluhan serta ceritaku, terima kasih untuk bahu yang dulu aku duduki, terima kasih untuk pelukan yang selalu engkau sediakan hanya untuk anak-anakmu. Terima kasih untuk segalanya, Pak. Ya, pria itu adalah ayahku :)

Terakhir, maaf untuk semua ucapanku yang telah menyakitimu, maaf untuk semua ocehanku yang tiada hentinya, dan maaf aku sering sekali membuatku jengkel. Maaf untuk semuanya.



HAPPY FATHER'S DAY, DAD! :)


Aku sayang bapak<3




with love, your beloved daughter


Almira G.
                                      

0 komentar:

Posting Komentar

 

TWITTER

CLOCK

About